Friday, March 16, 2007

Leptospirosis, Waspadai Setelah Banjir

Banjir selain mengakibatkan ratusan orang terserang diare, demam berdarah dengue, infeksi saluran pernapasan akut, dan gangguan kulit, juga menyebabkan merebaknya suatu penyakit yang jarang terdengar pada hari-hari biasa: leptospirosis. Sejumlah orang dilaporkan terjangkit penyakit yang ditularkan lewat urine (air kencing) hewan itu dan harus dirawat di rumah sakit.

Para penderita di DKI Jakarta maupun Tangerang dilaporkan terjangkit leptospirosis setelah kaki mereka terendam saat beraktivitas di tengah banjir. Hal ini dialami sejumlah penderita leptospirosis yang dirawat, yakni Syarifudin (26), warga Bencongan, Kecamatan Curug, serta Esdi, warga Kosambi, keduanya di Kabupaten Tangerang. Sebelum demam tinggi berhari-hari, kaki kedua pasien itu sering terendam banjir (Kompas, 13/2).

Syarifudin sehari-hari mencari nafkah sebagai tenaga penjualan barang dari busa ini. Saat banjir melanda wilayah Tangerang dan Jakarta beberapa waktu lalu, pria asal Lampung ini harus tetap bekerja. Karena sejumlah ruas jalan telah terendam banjir, ia pun terpaksa menerjang air dengan kaki telanjang. Akibatnya, ia menderita demam tinggi dan dinyatakan terjangkit leptospirosis.

Sementara Risky (15), warga Perumahan Binong Permai, Curug, Tangerang, juga diduga terjangkit leptospirosis. Sutini, ibunda Risky, menuturkan, awal Februari lalu jalan di depan rumahnya kebanjiran. Padahal, Risky yang tercatat sebagai pelajar kelas I SMA harus tetap bersekolah. Akhirnya, setiap hari kakinya terendam air.

Berdasarkan situs Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri dari genus Leptospira. Penularan penyakit ini pada manusia terjadi melalui kontak dengan air, makanan, dan tanah yang terkontaminasi air kencing hewan yang terinfeksi. Bakteri ini dapat hidup berbulan-bulan di tanah maupun air. Hewan yang menjadi sumber penularan bakteri ini antara lain adalah hewan ternak, babi, kuda, anjing, tikus, dan hewan liar.

Leptospirosis ada di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim panas atau daerah tropis. Biasanya bakteri masuk lewat permukaan mukosa, seperti mata, hidung, saluran pencernaan, atau kulit yang terluka. Tidak harus luka besar, luka gores pun sudah cukup untuk jalan masuk bakteri.

Gejala leptospirosis antara lain demam tinggi, sakit kepala, menggigil, nyeri otot, mual, muntah, sakit perut, diare dan rash (kulit berbercak-bercak kemerahan). Pada kasus yang berat, kulit penderita menjadi kuning dan mata menjadi merah. Jika tidak mendapat perawatan memadai, penderita bisa mengalami gagal ginjal, meningitis (radang selaput otak), kerusakan hati, dan gangguan pernapasan berat akibat gangguan pada paru yang bisa membawa pada kematian.

Karena gejalanya tidak khas, penegakan diagnosis leptospirosis tidak mudah. Apalagi waktu inkubasi bakteri berlangsung antara dua hari sampai empat minggu sehingga sering kali kenyataan bahwa penderita mengalami kontak dengan air, makanan, atau tanah yang tercemar tidak terungkap.

Selaput otak

Menurut Ari Fahrial Syam, Herdiman T Pohan, dan Iskandar Zulkarnain dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dalam artikel di Majalah Kedokteran Indonesia Volume 47, Desember 1997, umumnya penderita datang ke pelayanan kesehatan sebagai pasien meningitis (radang selaput otak), hepatitis (radang hati), nefritis (radang ginjal), pneumonia (radang paru), influenza, sindrom syok toksik, demam, bahkan pankreatitis (radang pankreas).

Diagnosis ditegakkan lewat penemuan Leptospira dalam darah atau urine penderita. Pemeriksaan serologi untuk memastikan diagnosis leptospirosis adalah dengan microscopic aglutination test (MAT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Kalau mau lebih cepat, diagnosis bisa menggunakan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau reaksi rantai polimerase.

Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit yang khas. Fase pertama, leptospiremia, ditandai dengan adanya Leptospira dalam darah, cairan otak, dan sumsum tulang belakang. Fase ini berlangsung mendadak dengan gejala sakit kepala hebat serta nyeri otot paha, betis, dan pinggang. Penderita mengalami demam tinggi sampai menggigil, mual, muntah, dan diare.

Penderita juga bisa kehilangan kesadaran, penurunan tekanan darah, dan denyut jantung cepat. Kulit penderita bisa menguning. Pada hari ke-3 atau ke-4 mata penderita menjadi merah, sensitif terhadap cahaya, serta mengalami gangguan pada hati, limpa, dan kelenjar getah bening. Jika segera ditangani, penderita akan membaik dan fungsi organ pulih setelah 3 minggu-6 minggu.

Pada kondisi yang lebih berat, demam turun setelah hari ke-7. Namun, pada hari ke-10 terjadi lagi demam tinggi dan nyeri otot. Kondisi ini adalah fase kedua atau fase imun. Leptospira bisa dijumpai pada urine penderita. Pada fase ini terjadi perdarahan serta gejala kerusakan pada hati dan ginjal. Selain itu, juga dapat terjadi meningitis, halusinasi, dan gangguan mental. Kematian biasanya terjadi akibat gagal ginjal.

Menurut situs CDC, leptospirosis bisa diobati dengan antibiotik seperti doksisiklin atau penisilin yang harus diberikan segera kepada penderita dengan gejala penyakit itu. Pada kasus yang parah, antibiotik bisa diberikan lewat infus.

Untuk menghindari terjangkit leptospirosis, disarankan masyarakat mengenakan pakaian pelindung dan bot jika beraktivitas di daerah yang tanah atau airnya diduga tercemar bakteri Leptospira. Hal penting ini sering diabaikan orang, padahal biaya pengobatan leptopirosis dan risikonya jauh lebih besar daripada biaya penyediaan pakaian dan sepatu pelindung.

Pascabanjir

Ketika banjir merendam sejumlah kawasan di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, awal Februari lalu, leptospirosis pun mengancam kesehatan warga setempat.

"Masyarakat perlu mewaspadai berbagai penyakit infeksi, terutama leptospirosis dan diare, saat banjir datang," kata Kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Prof Herdiman T Pohan.

"Diare dan sejumlah penyakit yang bersumber dari binatang seperti leptospirosis ini banyak menyerang masyarakat miskin," tutur Herdiman menegaskan. Bedanya, saat diare, warga akan segera ke dokter untuk berobat. Namun, bila terserang leptospirosis, warga cenderung mengonsumsi obat bebas dulu karena gejalanya mirip flu biasa. Ini bisa membuat penderita terlambat ditangani.

Leptospirosis merupakan penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia (zoonosis). Penyebab penyakit ini adalah bakteri berbentuk spiral bernama Leptospira. Bakteri ini dapat menyerang lever serta ginjal lalu masuk ke air kencing tikus. "Kulit dengan pori-pori terbuka, kulit yang tipis, lecet, atau luka terbuka bisa mempermudah masuknya bakteri itu," kata Herdiman.

Mual dan muntah

Jika terjangkit penyakit leptospirosis, penderita akan demam tinggi, mual, muntah, sekujur badan terasa sakit, air kencing berwarna seperti teh tua, mata kekuning-kuningan, dan timbul bercak kemerahan pada bola mata akibat pecahnya pembuluh darah. Bakteri ini bisa menyerang hati dan ginjal jika pasien terlambat ditangani. "Karena itu, penderita harus segera diberi obat antibiotik," tuturnya.

"Air banjir dapat mempercepat penyebaran bakteri Leptospira," ujar Herdiman. Bakteri ini dapat tahan hidup di dalam air selama berminggu-minggu. Namun, bakteri ini akan langsung mati jika air yang terkontaminasi dimasak hingga mendidih maupun dibersihkan dengan cairan pembersih lantai yang mengandung desinfektan.

Sebenarnya, pencegahan terjangkitnya leptospirosis relatif mudah. Salah satunya, dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Caranya, buang sampah dan tidak memakai air yang terendam banjir untuk keperluan sehari-hari. Tikus-tikus yang berkeliaran di sekitar permukiman juga harus diberantas. "Jangan memakai genangan air bekas banjir untuk mandi maupun sikat gigi karena kemungkinan air terkontaminasi bakteri," ujar Herdiman.

Rumah beserta perabot di dalamnya yang terendam banjir pun harus dibersihkan dengan menggunakan desinfektan. Sebab, bakteri yang bersumber dari air kencing tikus kemungkinan masih menempel di lantai, dinding, dan perabot rumah saat banjir surut. Agar tidak tertular bakteri itu, warga disarankan memakai bot, sarung tangan karet, dan menutup luka yang terbuka pada kulit.

Untuk menghadapi lonjakan pasien leptospirosis dan penyakit infeksi lain pascabanjir, rumah sakit, puskesmas, dan posko kesehatan yang ada di lokasi banjir harus disiagakan. Jika perlu, kapasitas ruang perawatan ditambah. "Warga dan tim penolong di daerah banjir sebaiknya memakai sepatu bot dan sarung tangan karet. Jika punya luka terbuka, jangan ikut bersih-bersih," kata Herdiman.

http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0702/16/181949.htm

No comments: